BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami``
Kata Monogamy dapat
dipasangkan dengan poligami sebagai antonim, Monogamy adalah
perkawinan dengan istri tunggal yang artinya seorang laki-laki
menikah dengan seorang perempuan saja, sedangkan kata poligami yaitu perkawinan
dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama. Dengan demikian
makna ini mempunyai dua kemungkinan pengertian; Seorang laki-laki menikah
dengan banyak laki-laki kemungkinan pertama disebut Polygini dan
kemungkinan yang kedua disebut Polyandry.
Hanya saja yang berkembang
pengertian itu mengalami pergeseran sehinggah poligami dipakai untuk makna
laki-laki beristri banyak, sedangkan kata poligyni sendiri tidak lazim dipakai.[1]
Poligami berarti ikatan perkawinan
yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam
waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan dalam menjalani
hidup berkeluarga, sedangkan monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan
suami mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.[2]
Poligami
adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang sama
mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Yang asli didalam perkawinan adalah
monogamy, sedangkan poligami datang belakangan sesuai dengan perkembangan akal
pikiran manusia dari zaman ke zaman.
Menurut para
ahli sejarah poligami mula-mula dilakukan oleh raja-raja pembesar Negara dan
orang-orang kaya. Mereka mengambil beberapa wanita, ada yang dikawini dan ada
pula yang hanya dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsunya akibat perang,
dan banyak anak gadis yang diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan kemudian
dijadikan gundik dan sebagainya. Makin kaya seseorang makin tinggi
kedudukanya, makin banyak mengumpulkan wanita. Dengan demikian poligami
itu adalah sisa-sisa pada waktu peninggalan zaman perbudakan yang mana
hal ini sudah ada dan jauh sebelum masehi.[3]
Poligami
adalah salah satu bentuk masalah yang dilontarkan oleh orang-orang yang
memfitnah Islam dan seolah-olah memperlihatkan semangat pembelaan terhadap
hak-hak perempuan. Poligami itu merupakan tema besar bagi mereka, bahwa kondisi
perempuan dalam masyarakat Islam sangat memprihatinkan dan dalam hal kesulitan,
karena tidak adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana dikemukakan oleh banyak
penulis, bahwa poligami itu berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan
penggalan kata Poli atau Polus yang artinya banyak, dan kata Gamein
atau Gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka jikalau kata ini
digabungkan akan berarti kata ini menjadi sah untuk mengatakan bahwa arti
poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak
terbatas.
Namun dalam
Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan.
Umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita saja.[4]
B.
Dasar Hukum Poligami
Yaitu terletak dalam surat An-Nisa` ayat 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.[5]
Maksudnya
berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian,
tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Dan Islam memperbolehkan
poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah
ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad SAW. Ayat
Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Dan demikian
juga disebutkan dalam surat An-Nisa` ayat 129, Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang
kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sejak masa
Rasulullah SAW , Sahabat, Tabi`in, periode Ijtihad dan setelahnya sebagian
besar kaum Muslimin memahami dua ayat Akhkam itu sebagai berikut:
1. Perintah Allah SWT, “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi”, difahami sebagai perintah ibahah (boleh), bukan perintah wajib.
Seorang muslim dapat memilih untuk bermonogami (istri satu) atau berpoligami
(lebih dari satu). Demikianlah kesepakatan pendapat mayoritas pendapat mujtahid
dalam berbagai kurun waktu yang berbeda.
2. Larangan mempersunting istri lebih dari empat dalam waktu yang bersamaan,
sebagaimana dalam firman Allah “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi; dua, tiga atau empat”. Menurut alqurtuki, pendapat yang
memperkenankan poligami lebih dari empat dengan pijakan nash di atas, adalah
pendapat yang muncul karena yang bersangkutan tidak memahami gaya bahasa dalam
al-qur`an dan retorika bahasa arab.
3. Poligami harus berlandaskan asas keadilan,
sebagaimana firman Allah, “kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.“ (qs. An-nisa`: 3) seseorang tidak dibolehkan menikahi lebih dari seorang
istri jika mereka merasa tidak yakin akan mampu untuk berpoligami. Walaupun dia
menikah maka akad tetap sah, tetapi dia berdosa terhadap tindakannya itu.
4. Juga sebagaimana termaktub dalam ayat yang
berbunyi, “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara
istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”. adil dalam
cinta diantara istri-istri adalah suatu hal yang mustahil dilakukan karena dia
berada di luar batas kemampuan manusia. Namun, suami seyogyanya tidak berlaku dzolim terhadap istri-istri yang lain
karena kecintaannya terhadap istrinya.
5. Sebagian ulama` penganut madzhab syafi`I mensyaratkan mampu member nafkah
bagi orang ayaang akan berpoligami. Persyaratan ini berdasarkan pemahaman imam
syafi`I terhadap teks al`qur`an, “yang demikian itu adalah lebih cddekat
kepada tidak berbuat aniaya”. Yang artinya agar tidak memperbanyak anggota
keluarga. Di dalam kitab “akhkam al-qur`an”, imam baihaqi juga
mendasarkan keputusannya terhadap pendapat ini serta pendapat yang lain. Dalam
pemahaman madzhab syafi`I jaminan yang mensyaratkan kemampuan memmberi nafkah
sebagai syarat poligami ini adalah syarat diyanah (agama) maksudnya bahwa jika
yang bersangkutan tahu bahwa dia tidak mampu member nafkah bukan syarat putusan
hukum.[6]
Dan adalagi yang menyebutkan bahwa poligami itu mubah (dibolehkan) selama
seorang mu`min tidak akan khawatir akan aniaya. Dilarang poligami untuk
menyelamatkan dirinya dari dosa. Dan terang pula bahwa boleh berpoligami itu
tidak bergantung kepada sesuatu selain anaiaya (tidak jujur), jadi tidak
bersangkutan dengan mandul istri atau sakit yang menghalanginya ketika tidur
dengan suaminya dan tidak pula karena banyak jumlah wanita.[7]
C. Alasan Poligami
Pada dasarnya seorang
pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang beristri lebih
dari seorang dapat diperbolehkan bila dikendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh
Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan (UUP)
dan juga dalam Bab IX KHI
Pasal 57 seperti dijelaskan sebagai berikut:
a.Isteri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.Isteri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.Isteri tidak
dapat melahirkan keturunan.
Apabila
diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas, dapat dipahami
bahwa alasannya mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI disebut sakinah,
mawaddah, dan rahmah ) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila
tiga alasan yang disebutkan di atas menimpa suami-istri maka dapat dianggap
rumah tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah
dan rahmah).
D. Syarat-syarat Poligami
Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang sebagai berikut:
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan
kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/ isteri-isteri;
b. Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat
(1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.[8]
E. Prosedur Poligami
Prosedur poligami
menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia
wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur
lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
Pasal 56 KHI
1)
Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang
harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
2)
Pengajuan permohonan
izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam
Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
3)
Perkawinan yang
dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau ke empat tanpa izin dari Pengadilan
Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57 KHI
Pengadilan Agama hanya
memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.Isteri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.Isteri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.Isteri tidak
dapat melahirkan keturunan.
Kalau
Pengadilan Agama sudah menerima permohonan izin poligami, kemudian ia memriksa
berdasarkan Pasal 57 KHI :
a.
Ada atau tidaknya alasan
yang memugkinkan seorang suami kawin lagi;
b.
Ada atau tidaknya
persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tulisan, apabila
persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di
depan sidang pengadilan;
c.
Ada atau tidaknya
kemampuan suami untuk menjamin keperluan hiduo istri-istri dan anak-anak,
dengan memperlihatkan:
- Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
- Surat keterangan pajak penghasilan, atau
- Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
Pasal 58 ayat (2) KHI
Dengan
tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau
dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
Adapun
tata cara teknis pemeriksaan menurut Pasal 42 PP Nomor 9 Tahun 1975 adlah
sebagai berikut:
1)
Dalam melakukan
pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil
dan mendengar istri yang bersangkutan.
2)
Pemeriksaan pengadilan
untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Apabila terjadi sesuatu dan lain hal, istri atau istri-istri tidak mungkin
diminta persetujuannya atau tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat (2) menegaskan:
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mengkin dimintai
persetujuannya, dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari istri-istrinya selama sekurang-sekurangnya 2 (dua) tahun
atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim
Pengadilan (bandingkan juga dengan Pasal 58 KHI).
Namun, bila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa
izin untuk beristri lebih dari seorang (Pasal 43 PP Nomor 9 Tahun 1975).
Kalau sang istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin
untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur
dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 57,
Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan
mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap
penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi (Pasal 59
KHI). Apabila keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin
pengadilan tidak diperoleh, maka menurut ketentuan Pasal 44 PP Nomor 9 Tahun
1975, Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang
suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan
seperti yang dimaksud dalam Pasal 43 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan poligami seperti telah
diuraikan di atas mengikat semua pihak,
pihak yang akan melangsungkan poligami dan pegawai percatat perkawinan. Apabila
mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal di atas, dikenakan
sanksi pidana. Persoalan ini diatur dalam Bab IX Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975
:
(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
a. Barang siapa yang melanggar ketentuan
yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah akan
dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima
ratus rupiah);
b. Pegawai Pencatat yang
melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 12,
dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2)
Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas, merupakan
pelanggaran.
Ketentuan hukum poligami
yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin Pengadilan
Agama, setelah dibuktikan kemaslahatannya. Dengan kemaslahatan dimaksud,
terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga
yang kekal dan abadi atas dasar cinta dan kasih sayang yang diridhai oleh Allah
SWT. Oleh karena itu, segala persoalan yang dimungkinkan akan menjadi
penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut, sehingga mesti
dihilangkan atau setidaknya dikurangi
Status hukum poligami
adalah mubah. Mubah dimaksud, sebagai alternatisf untuk beristri hanya sebatas
4 (empat) orang istri. Hal itu ditegaskan oleh Pasal 55 KHI sebagai berikut:
1.
Beristeri lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan,
terbatas hanya sampai empat orang isteri.
2.
Syarat utama beristeri lebih dari satu orang, suami
harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3.
Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2) tidak
mungkin terpenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari satu.
Dasar
pertimbangan KHI adalah hadits Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Ahmad,
At-Tirmidzi, dan Ibn Hibban yang mengugkapkan bahwa sesungguhnya Gailan Ibn
Salamah masuk Islam dan ia mempunyai 10 (sepuluh) orang istri. Mereka
bersama-sama, dan dia masuk Islam. Maka Nabi Muhammad SAW. memerintahkan
kepadanya agar memilih empat orang saja di antaranya dan menceraikan yang
lainnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu
yang sama mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Adapun alasan Poligami, pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri. Seorang suami yang beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila
dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi
izin (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin
poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan (UUP) dan juga dalam Bab IX KHI Pasal 57.
Adapun syarat-syarat poligami, termaktub dalam Pasal
5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang
suami yang akan beristri lebih dari seorang. Prosedur Poligami. Adapun prosedur
poligami menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan
bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka
ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini
diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi Hukum Islam.
s
[2]Al-qamar Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap
Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005), hal 19
[3]Aisjah Dahlan, Membina Rumah Tangga Bahagia, Cet 1.
(Jakarta: Jamunu, 1969), hal 69
[4] Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan Academia, 1996) hal. 84
[5]
Al-qur’an terjemahan
6Fada Abdul Razak Al-Qoshir, Wanita Muslimah Antara
Syari`At Islam Dan Budaya Barat, (Yogyakarta: Darussalam Offset, 2004) hal.
42-45
[7]
Ibid. hal 200
Tidak ada komentar:
Posting Komentar