10.
ABORTUS, MENSTRUAL REGULATION,
DAN
EUGENETIKA MENURUT PANDANGAN HUKUM ISLAM
I.
Abortus,
Menstrual Regulation, dan Eugenetika Menurut Pandangan Hukum Islam
Abortus munurut Sardikin Ginaputra
(Fakultas Kedokteran UI), ialah pengakhiran kehamilan atau hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Dan menurut Maryono Reksodipura
(Fakultas Hukum UI ) ialah pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum
waktunya ( sebelum dapat lahir secara alamiah).
Metode yang dipakai untuk abortus biasanya
ialah:
1. Curattage &
Dilatage (C & D )
2. Dengan
alat khusus, mulut rahim dilebarkan, kemudian janin dikiret (di-curet ) dengan alat seperti sendok
kecil.
3. Aspirasi,
yakni penyedotan isi rahim dengan pompa kecil.
4. Hysterotomi (melalui
operasi )
Abortus (pengguguran ) ada 2 macam,
ialah :
1. Abortus
spontan (spontaneus abortus), ialah
abortus yang tidak sengaja. Abortus bisa terjadi karena penyakit syphilis, kecelakaan, dan sebagainya.
2. Abortus
yang disengaja (abortus
provocatus/induced pro abortion). Dan abortus macam kedua ini ada 2 (dua)
macam, ialah:
a. Abortus
artificialis therapicus, yakni abortus yang dilakukan oleh dokter atas dasar
indikasi medis. Misalnya jika kehamilan diteruskan bisa membahayakan jiwa si
calon ibu, karena misalnya penyakit-penyakit yang berat, antara lain TBC yang
berat dan penyakit ginjal yang berat.
b. Abortus
provocatus criminalis, ialah abortus yang dilakukan tanpa dasar indikasi
medis. Misalnya abortus yang dilakukan untuk meniadakan hasil hubungan seks di
luar perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki.[1]
Menstrual
regulation secara harfiah artinya pengaturan
menstruasi/datang bulan/haid, tetapi dalam peraktek mentrual regulation ini
dilaksanakan terhadap wanita yang merasa terlambat waktu mentruasi dan
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorius ternyata positif dan mulai
mengandung. Maka ia minta “dibereskan janinnya” itu. Maka jelaslah, bahwa menstrual regulation itu pada hakikatnya adalah abortus provocatus criminalis, sekalipun dilakukan oleh
dokter. Karena itu, abortus dan mentrual
regualation itu pada hakikatnya
adalah pembunuhan janin secara terselubung. Karena itu, berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 299, 348 dan 349 negara melarang
abortus, termasuk menstrual regulation dan
sanksi hukumannya cukup berat; bahkan hukumannya tidak hanya ditujukan kepada
wanita yang bersangkutan, tetapi semua orang yang terlibat dalam kejahatan ini
dapat dituntut, seperti dokter, dukun bayi, tukang obat dan sebagainnya yang
mengobati atau yang menyuruh atau yang membantu atau yang melakukannya sendiri.
Marilah kita perhatikan pasal-pasal KUHP
yang berkaitan dengan abortus (pengguguran) sebagai berikut.
Pasal 299 (1) : Barang siapa dengan
sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan
diberitahukan atau ditimbulkan harapan, dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
(2) jika yang bersalah, berbuat demikian
untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian
atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan, atau juru obat; pidananya
dapat ditambah sepertiga.
(3) jika yang bersalah, melakukan
kejahatan tersebut; dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya
untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 346: seorang wanita yang sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347 (1) barang siapa dengan sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan
matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 (1) : Barang siapa dengan
sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan seorang wanita dengan
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan
matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349 : Jika seorang dokter, bidan
atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, atau pun
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukannya.[2]
Pasal-pasal tersebut merumuskan dengan
tegas tanpa pengecualian bahwa barang siapa memenuhi unsur-unsur kejahatan
tersebut diancam dengan hukuman sampai lima belas tahun; bahkan bagi dokter,
bidan, dan tukang obat yang melakukan atau membantu melakukan abortus,
pidananya bisa ditambah sepertiga dan dicabut haknya untuk melakukan praktek
profesinya.
Teuku Amir Hamzah dalam disertasinya
berjudul: segi-segi Hukum Pidana Pengaturan
Kehamilan dan Pengguguran Kandungan menganggap perumusan KUHP tersebut
sangat ketat dan kaku, dan hal ini sangat tidak menguntungkan bagi profesi
dekter serta dapat menimbulkan rasa cemas dalam melakukan profesinya.
Disatu pihak dokter harus senantiasa
mengingat kewajibannya melindungi hidup insani sesuai dengan sumpahnya; namun,
dilain pihak dokter dibayangi ancaman hukuman. Menurut Hamzah, ada beberapa
alasan yang bisa membenarkan pengguguran kandungan dengan pertimbangan
kesehatan, antara lain sebagai berikut:
1.
Ajaran sifat
melawan hukum materiil sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI nomor
42K/Kr 1965 tanggal 8 Januari 1966 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI nomor
81K/Kr 1973 tanggal 30 Maret 1977. Ajaran sifat melawan hukum materiil dimaksud
adalah, “suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan
hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan,
melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas hukum yang tidak
tertulis dan bersifat umum yang mengandung unsur-unsur: negara tidak dirugikan,
kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung.”
2.
Penjelasan pasal
10 Kode Etik Kedokteran Indonesia 1983 yang menyatakan, larangan pengguguran
kandungan tidak mutlak sifatnya, dan dapat dibenarkan sebagai tindakan
pengobatan, yaitu sebagai satu-satunya jalan untuk menolong si ibu.
Akhirnya, Hamzah menyarankan agar dibuat
pengecualian dalam KUHP sehingga pengguguran kandungan yang dilakukan dokter
atas pertimbangan kesehatan dapat dibenarkan dan bukan merupakan perbuatan yang
melanggar hukum.[3]
Tetapi sementara ini di kalangan ahli
hukum di indonesia ada yang mempunyai ide/saran agar abortus itu dapat
dilegalisasi seperti dinegara maju/sekuler, berdasarkan pertimbangan antara lain
bahwa kenyataannya abortus tetap dilakukan secara ilegal dimana-mana dan
kebanyakan dilakukan oleh tenaga-tenaga nonmedis, seperti dukun, sehingga bisa
membawa risiko besar berupa kematian atau cacat berat bagi wanita yang
bersangkutan. Maka sekiranya abortus dapat dilegalisasi dan dapat dilakukan
oleh dokter yang ahli, maka risiko tersebut dapat dihindari atau dikurangi.
Pendukung ide legalisasi abortus itu
menghendaki pasal-pasal KUHP yang melarang abortus dengan sanksi-sanksinya itu
hendaknya direvisi, karena juga dipandang bisa menghambat pealksanaan program
Keluarga Berencana dan Kependudukan.
Menurut penulis, pasal-pasal KUHP yang
melarang abortus hendaknya tetap dipertahankan dan penulis dapat menyetujui
saran Hamzah agar dibuat pengecualian dalam KUHP, sehingga pengguguran
kandungan yang benar-benar dilakukan atas indikasi medis dapat dibenarkan. Dan
apabila tanpa indikasi medis, maka abortus dan juga menstrual regulation merupakan perbuatan yang tidak manusiawi,
bertentangan dengan moral pancasila dan moral agama, dan mempunyai dampak yang
sngat negatif berupa dekadensi moral terutama di kalangan remaja dan pemuda,
sebab legalisasi abortus dapat mendorong keberanian orang untuk melakukan
hubungan seksual sebelum nikah (free sex
atau kumpul kebo).
II.
Abortus
dan Menstrual Regulation Menurut Pandangan Islam
Apabila abortus dilakukan sebelum diberi
ruh/nyawa pada janin (emrio), yaitu sebelum berumur 4 bulan, ada beberapa
pendapat. Ada ulama yang membolehkan abortus, antara lain Muhammad Ramli dalam
kitab Al-hihayah (meninggal tahun
1596) dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada ulama yang
memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan. Dan
ada pula ulama yang mengharamkannya antara lain Ibnu Hajar (wafat tahun 1567)
dalam kitabnya Al-Tuhfah dan
Al-Gazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin.
Dan apabila abortus dilakukan sesudah janin bernyawa atau berumur 4 bulan,
maka di kalangan ulama telah ada ijma’
(konsensus) tentang haramnya abortus.[4]
Menurut hemat penulis, pendapat yang
benar ialah seperti yang diuraikan oleh Mahmud Syaltut, eks Rektor Universitas
Al-Azhar Mesir, bahwa sejak bertemunya sel seperma (mani lelaki) dengan ovum
(sel telur wanita), maka pengguguran adalah sesuatu kejahatan dan haram
hukumnya, sekalipun si janin belum diberi nyawa, sebab sudah ada kehidupan pada
kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk
baru yang bernyawa bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi
eksistensinya. Dan makin jahat dan makin besar dosanya, apabila pengguguran
dilakukan setelah janin bernyawa, apalagi sangat besar dosanya kalau sampai
dibunuh atau dibuang bayi yang baru lahir dari kandungan.
Tetapi apabila pengguguran itu dilakukan
karena benar-benar terpaksa demi melindungi/menyelamatkan si ibu, maka islam
membolehkan, bahkan mengharuskan, karena islam mempunyai prinsip:
IRTIKABU AKHAFFIDH DHARARAINI WA JIBUN
Menempuh salah satu tindakan yang
lebih ringan dari dua hal yang berbahaya itu adalah wajib.
Jadi dalam hal ini islam tidak
membenarkan tindakan menyelamatkan janin dengan mengorbankan si calon ibu,
karena eksistensi si ibu lebih diutamakan mengingat dia merupakan tiang/sendi
keluarga (rumah tangga) dan dia telah mempunyai beberapa hak dan kewajiban,
baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama makhluk. Berbeda dengan si janin,
selama ia belum lahir di dunia dalam keadaan hidup, ia tidak/belum mempunyai
hak, seperti hakwaris, dan juga belum mempunyai kewajiban apa pun.[5]
Mengenai menstrual regulation, Islam juga melarangnya, karena pada
hakikatnya sama dengan abortus, merusak/menghancurkan janin calon manusia yang
dimuliakan Allah, karena ia berhak tetap survive
dan lahir dalam keadaan hidup, sekalipun eksistensinya hasil dari hubungan
yang sah (di luar perkawinan yang sah). Sebab menurut Islam, bahwa setiap anak
lahir dalam keadaan suci (tidak bernoda).[6]
Sesuai dengan hadis Nabi:
KULLU
MAULUUDIN YULADU ALALFITRATI HATTA YA’RUBA ANHU LISAANUHU FA ABAWAHU YUHAWWIDA
NIHI AU YUNASHSHIRO NIHI AU YUMAJJISANIHI
Setiap anak dilahirkan atas fitrah,
sehingga ia jelas omongannya.. kemidian orang tuanyalah yang menyababkan anak
itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (hadits riwayat Abu Ya’la,
Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dari Al-Aswad bin Sari’)
Yang dimaksud dengan fitrah dalam hadis ini ada dua
pengertian, yaitu:
1.
Dasar pembawaan
manusia (human nature) yang religius
dan monoteis, artinya bahwa manusia itu dari dasar pembawaannya adalah makhluk
yang beragama dan percaya pada keesaan Allah secara murni (pure monotheism atau tauhid
khalis.)[7]
2.
Kesucian/kebersihan
(purity), artinya bahwa semua anak
manusia dilahirkan dalam keadaan suci/bersih dari segala macam dosa.
III. Eugenetika menurut
Pandangan Hukum Islam
Pada akhir-akhir ini diisukan adanya
praktek eugenetika di salah satu rumah sakit di Jakarta. Eugenetika, artinya, seleksi ras unggul, dengan tujuan agar janin
yang dikandung oleh ibu dapat diharapkan lahir sebagai bayi yang normal dan
sehat fisik, mental dan intelektual. Sebagai konsekkuensinya, apabila janin
diketahui dari hasil pemeriksaan medis yang canggih, menderita cacat atau
penyakit yang sangat berat, misalnya down
syndrome, yang berarti IQ-nya hanya sekitar 20-70; maka digugurkan janin
tersebut dengan alasan hidup anak yang ber-IQ sangat rendah itu tidak ada
artinya dan menderita sepanjang hidupnya, dan juga menjadi beban keluarga dan
masyarakat/negara.
Pemerintah sangat bijaksana apabila
segera mengadakan penelitian terhadap isu tersebut untuk mengungkap sampai
sejauh mana praktek eugenetika yang
telah dilakukan oleh dokter rumah sakit yang disinyalir itu. Apakah
“pengguguran” janin yang telah dilakukan itu hanya terbatas pada janin yang
menderita down syndrome saja misalnya, ataukah lebih jauh lagi,
misalnya, pengguguran juga dilakukan atas permintaan ibu atau keluarga yang
bersangkutan kerena jenis kelaminnya tidak sesuai dengan yang diharapkannya?
Pemerintah harus mengambil tindakan tegas apabila rumah sakit tersebut
melanggar ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dari negara RI
yang berasaskan pancasila ini.
Menurut hemat penulis, apabila
“pengguguran” janin dilakukan dengan alasan down
syndrome, masih tolarable, karena mengingat mudarat/risikonya jauh lebih besar
daripada dengan eugenetika (baca
abortus) yang dilakukan atas permintaan ibu/keluarga dengan alasan jenis
kelaminnya tidak sesuai dengan harapannya; maka jelaslah tindakan yang demikian
itu tidak manusiawi dan perbuatan kriminal, sebab bertentangan dengan norma
agama, norma Pancasila, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (KUH
Pidana dan UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan). Ada baiknya pemerintah RI
segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk memperjelas ketentuan-ketentuan
dalam UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang berkaitan dengan
kasus-kasus eugenetika tersebut di
atas, yang pada hakikatnya sama dengan menstrual
regulation, yakni “pengguguran terselubung” (Vide UU Nomor 7 Tahun 1992
tentang Kesehatan).
JUDUL
BUKU MASAIL FIQIYAH
Karangan
Prof. Drs. H Masjfuk Zuhdi
Penerbit
PT TOKO GUNUNG AGUNG
Kota
Jakarta
Tahun
1997
Cetakan
kesepuluh.
OLEH:
NAMA : MUSTOFA
EMAIL : MUSTOFA09108@GMAIL.COM
[1] Masifuk
Zuhdi, islam dan keluarga berencana di indonesia, surabaya, Bina Ilmu, 1986,
hml. 38-39
[2]
Moeljanto, KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana), Jakarta, Bina Aksara, 1985, hlm. 341-349
[3] Jawa
Pos, Kamis 30 April 1987, hlm. III kolom 3-5
[4] Zuhdi, op, cit hlm 39
[5] Muhammad
Syaltut, Al-Fatwa, Mesir, Darul
Qalam, s.a, hlm. 289-292
[6]
Al-Suyuti, Al-Jami’ al-Shaghir vol. II, Cairo, mustafa al-Babi al-Halabi
wa Auladuh, 1954, hlm. 94.
[7] Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 172.