Hetalia: Axis Powers - Ukraine

Rabu, 04 Juni 2014

ABORTUS, MENSTRUAL REGULATION, DAN EUGENETIKA MENURUT PANDANGAN HUKUM ISLAM



10. ABORTUS, MENSTRUAL REGULATION,
DAN EUGENETIKA MENURUT PANDANGAN HUKUM ISLAM

       I.       Abortus, Menstrual Regulation, dan Eugenetika Menurut Pandangan Hukum Islam
       Abortus munurut Sardikin Ginaputra (Fakultas Kedokteran UI), ialah pengakhiran kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Dan menurut Maryono Reksodipura (Fakultas Hukum UI ) ialah pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya ( sebelum dapat lahir secara alamiah).
   Metode yang dipakai untuk abortus biasanya ialah:
1.    Curattage & Dilatage (C & D )
2.    Dengan alat khusus, mulut rahim dilebarkan, kemudian janin dikiret (di-curet ) dengan alat seperti sendok kecil.
3.    Aspirasi, yakni penyedotan isi rahim dengan pompa kecil.
4.    Hysterotomi (melalui operasi )
Abortus (pengguguran ) ada 2 macam, ialah :
1.      Abortus spontan (spontaneus abortus), ialah abortus yang tidak sengaja. Abortus bisa terjadi karena penyakit syphilis, kecelakaan, dan sebagainya.
2.      Abortus yang disengaja (abortus provocatus/induced pro abortion). Dan abortus macam kedua ini ada 2 (dua) macam, ialah:
a.    Abortus artificialis therapicus, yakni abortus yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis. Misalnya jika kehamilan diteruskan bisa membahayakan jiwa si calon ibu, karena misalnya penyakit-penyakit yang berat, antara lain TBC yang berat dan penyakit ginjal yang berat.
b.    Abortus provocatus criminalis, ialah abortus yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis. Misalnya abortus yang dilakukan untuk meniadakan hasil hubungan seks di luar perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki.[1]
       Menstrual regulation secara harfiah artinya pengaturan menstruasi/datang bulan/haid, tetapi dalam peraktek mentrual regulation ini dilaksanakan terhadap wanita yang merasa terlambat waktu mentruasi dan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorius ternyata positif dan mulai mengandung. Maka ia minta “dibereskan janinnya” itu. Maka jelaslah, bahwa menstrual regulation itu pada hakikatnya adalah abortus provocatus criminalis, sekalipun dilakukan oleh dokter. Karena itu, abortus dan mentrual regualation  itu pada hakikatnya adalah pembunuhan janin secara terselubung. Karena itu, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 299, 348 dan 349 negara melarang abortus, termasuk menstrual regulation dan sanksi hukumannya cukup berat; bahkan hukumannya tidak hanya ditujukan kepada wanita yang bersangkutan, tetapi semua orang yang terlibat dalam kejahatan ini dapat dituntut, seperti dokter, dukun bayi, tukang obat dan sebagainnya yang mengobati atau yang menyuruh atau yang membantu atau yang melakukannya sendiri.
     Marilah kita perhatikan pasal-pasal KUHP yang berkaitan dengan abortus (pengguguran) sebagai berikut.
       Pasal 299 (1) : Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
       (2) jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan, atau juru obat; pidananya dapat ditambah sepertiga.
       (3) jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut; dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
       Pasal 346: seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
       Pasal 347 (1) barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
       (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
       Pasal 348 (1) : Barang siapa dengan sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
       (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
       Pasal 349 : Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, atau pun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukannya.[2]
       Pasal-pasal tersebut merumuskan dengan tegas tanpa pengecualian bahwa barang siapa memenuhi unsur-unsur kejahatan tersebut diancam dengan hukuman sampai lima belas tahun; bahkan bagi dokter, bidan, dan tukang obat yang melakukan atau membantu melakukan abortus, pidananya bisa ditambah sepertiga dan dicabut haknya untuk melakukan praktek profesinya.
       Teuku Amir Hamzah dalam disertasinya berjudul: segi-segi Hukum Pidana Pengaturan Kehamilan dan Pengguguran Kandungan menganggap perumusan KUHP tersebut sangat ketat dan kaku, dan hal ini sangat tidak menguntungkan bagi profesi dekter serta dapat menimbulkan rasa cemas dalam melakukan profesinya.
       Disatu pihak dokter harus senantiasa mengingat kewajibannya melindungi hidup insani sesuai dengan sumpahnya; namun, dilain pihak dokter dibayangi ancaman hukuman. Menurut Hamzah, ada beberapa alasan yang bisa membenarkan pengguguran kandungan dengan pertimbangan kesehatan, antara lain sebagai berikut:
1.        Ajaran sifat melawan hukum materiil sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI nomor 42K/Kr 1965 tanggal 8 Januari 1966 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI nomor 81K/Kr 1973 tanggal 30 Maret 1977. Ajaran sifat melawan hukum materiil dimaksud adalah, “suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum yang mengandung unsur-unsur: negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung.”
2.        Penjelasan pasal 10 Kode Etik Kedokteran Indonesia 1983 yang menyatakan, larangan pengguguran kandungan tidak mutlak sifatnya, dan dapat dibenarkan sebagai tindakan pengobatan, yaitu sebagai satu-satunya jalan untuk menolong si ibu.
       Akhirnya, Hamzah menyarankan agar dibuat pengecualian dalam KUHP sehingga pengguguran kandungan yang dilakukan dokter atas pertimbangan kesehatan dapat dibenarkan dan bukan merupakan perbuatan yang melanggar hukum.[3]
       Tetapi sementara ini di kalangan ahli hukum di indonesia ada yang mempunyai ide/saran agar abortus itu dapat dilegalisasi seperti dinegara maju/sekuler, berdasarkan pertimbangan antara lain bahwa kenyataannya abortus tetap dilakukan secara ilegal dimana-mana dan kebanyakan dilakukan oleh tenaga-tenaga nonmedis, seperti dukun, sehingga bisa membawa risiko besar berupa kematian atau cacat berat bagi wanita yang bersangkutan. Maka sekiranya abortus dapat dilegalisasi dan dapat dilakukan oleh dokter yang ahli, maka risiko tersebut dapat dihindari atau dikurangi.
       Pendukung ide legalisasi abortus itu menghendaki pasal-pasal KUHP yang melarang abortus dengan sanksi-sanksinya itu hendaknya direvisi, karena juga dipandang bisa menghambat pealksanaan program Keluarga Berencana dan Kependudukan.
       Menurut penulis, pasal-pasal KUHP yang melarang abortus hendaknya tetap dipertahankan dan penulis dapat menyetujui saran Hamzah agar dibuat pengecualian dalam KUHP, sehingga pengguguran kandungan yang benar-benar dilakukan atas indikasi medis dapat dibenarkan. Dan apabila tanpa indikasi medis, maka abortus dan juga menstrual regulation merupakan perbuatan yang tidak manusiawi, bertentangan dengan moral pancasila dan moral agama, dan mempunyai dampak yang sngat negatif berupa dekadensi moral terutama di kalangan remaja dan pemuda, sebab legalisasi abortus dapat mendorong keberanian orang untuk melakukan hubungan seksual sebelum nikah (free sex atau kumpul kebo).

    II.       Abortus dan Menstrual Regulation Menurut Pandangan Islam
       Apabila abortus dilakukan sebelum diberi ruh/nyawa pada janin (emrio), yaitu sebelum berumur 4 bulan, ada beberapa pendapat. Ada ulama yang membolehkan abortus, antara lain Muhammad Ramli dalam kitab Al-hihayah (meninggal tahun 1596) dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada ulama yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan. Dan ada pula ulama yang mengharamkannya antara lain Ibnu Hajar (wafat tahun 1567) dalam kitabnya Al-Tuhfah dan Al-Gazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Dan apabila abortus dilakukan sesudah janin bernyawa atau berumur 4 bulan, maka di kalangan ulama telah ada ijma’ (konsensus) tentang haramnya abortus.[4]
       Menurut hemat penulis, pendapat yang benar ialah seperti yang diuraikan oleh Mahmud Syaltut, eks Rektor Universitas Al-Azhar Mesir, bahwa sejak bertemunya sel seperma (mani lelaki) dengan ovum (sel telur wanita), maka pengguguran adalah sesuatu kejahatan dan haram hukumnya, sekalipun si janin belum diberi nyawa, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Dan makin jahat dan makin besar dosanya, apabila pengguguran dilakukan setelah janin bernyawa, apalagi sangat besar dosanya kalau sampai dibunuh atau dibuang bayi yang baru lahir dari kandungan.
       Tetapi apabila pengguguran itu dilakukan karena benar-benar terpaksa demi melindungi/menyelamatkan si ibu, maka islam membolehkan, bahkan mengharuskan, karena islam mempunyai prinsip:


            IRTIKABU AKHAFFIDH DHARARAINI WA JIBUN

Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang berbahaya itu adalah wajib.

       Jadi dalam hal ini islam tidak membenarkan tindakan menyelamatkan janin dengan mengorbankan si calon ibu, karena eksistensi si ibu lebih diutamakan mengingat dia merupakan tiang/sendi keluarga (rumah tangga) dan dia telah mempunyai beberapa hak dan kewajiban, baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama makhluk. Berbeda dengan si janin, selama ia belum lahir di dunia dalam keadaan hidup, ia tidak/belum mempunyai hak, seperti hakwaris, dan juga belum mempunyai kewajiban apa pun.[5]
       Mengenai menstrual regulation, Islam juga melarangnya, karena pada hakikatnya sama dengan abortus, merusak/menghancurkan janin calon manusia yang dimuliakan Allah, karena ia berhak tetap survive dan lahir dalam keadaan hidup, sekalipun eksistensinya hasil dari hubungan yang sah (di luar perkawinan yang sah). Sebab menurut Islam, bahwa setiap anak lahir dalam keadaan suci (tidak bernoda).[6] Sesuai dengan hadis Nabi:


KULLU MAULUUDIN YULADU ALALFITRATI HATTA YA’RUBA ANHU LISAANUHU FA ABAWAHU YUHAWWIDA NIHI AU YUNASHSHIRO NIHI AU YUMAJJISANIHI

Setiap anak dilahirkan atas fitrah, sehingga ia jelas omongannya.. kemidian orang tuanyalah yang menyababkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (hadits riwayat Abu Ya’la, Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dari Al-Aswad bin Sari’)

            Yang dimaksud dengan fitrah dalam hadis ini ada dua pengertian, yaitu:
1.        Dasar pembawaan manusia (human nature) yang religius dan monoteis, artinya bahwa manusia itu dari dasar pembawaannya adalah makhluk yang beragama dan percaya pada keesaan Allah secara murni (pure monotheism atau tauhid khalis.)[7]
2.        Kesucian/kebersihan (purity), artinya bahwa semua anak manusia dilahirkan dalam keadaan suci/bersih dari segala macam dosa.

   III.     Eugenetika menurut Pandangan Hukum Islam
       Pada akhir-akhir ini diisukan adanya praktek eugenetika di salah satu rumah sakit di Jakarta. Eugenetika, artinya, seleksi ras unggul, dengan tujuan agar janin yang dikandung oleh ibu dapat diharapkan lahir sebagai bayi yang normal dan sehat fisik, mental dan intelektual. Sebagai konsekkuensinya, apabila janin diketahui dari hasil pemeriksaan medis yang canggih, menderita cacat atau penyakit yang sangat berat, misalnya down syndrome, yang berarti IQ-nya hanya sekitar 20-70; maka digugurkan janin tersebut dengan alasan hidup anak yang ber-IQ sangat rendah itu tidak ada artinya dan menderita sepanjang hidupnya, dan juga menjadi beban keluarga dan masyarakat/negara.
       Pemerintah sangat bijaksana apabila segera mengadakan penelitian terhadap isu tersebut untuk mengungkap sampai sejauh mana praktek eugenetika yang telah dilakukan oleh dokter rumah sakit yang disinyalir itu. Apakah “pengguguran” janin yang telah dilakukan itu hanya terbatas pada janin yang menderita down syndrome  saja misalnya, ataukah lebih jauh lagi, misalnya, pengguguran juga dilakukan atas permintaan ibu atau keluarga yang bersangkutan kerena jenis kelaminnya tidak sesuai dengan yang diharapkannya? Pemerintah harus mengambil tindakan tegas apabila rumah sakit tersebut melanggar ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dari negara RI yang berasaskan pancasila ini.
       Menurut hemat penulis, apabila “pengguguran” janin dilakukan dengan alasan down syndrome, masih tolarable, karena mengingat mudarat/risikonya jauh lebih besar daripada dengan eugenetika (baca abortus) yang dilakukan atas permintaan ibu/keluarga dengan alasan jenis kelaminnya tidak sesuai dengan harapannya; maka jelaslah tindakan yang demikian itu tidak manusiawi dan perbuatan kriminal, sebab bertentangan dengan norma agama, norma Pancasila, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (KUH Pidana dan UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan). Ada baiknya pemerintah RI segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk memperjelas ketentuan-ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang berkaitan dengan kasus-kasus eugenetika tersebut di atas, yang pada hakikatnya sama dengan menstrual regulation, yakni “pengguguran terselubung” (Vide UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Kesehatan).

JUDUL BUKU MASAIL FIQIYAH
Karangan Prof. Drs. H Masjfuk Zuhdi
Penerbit PT TOKO GUNUNG AGUNG
Kota Jakarta
Tahun 1997
Cetakan kesepuluh.      

OLEH:
Description: F:\touch my heart\MY FOTO Y\Snapshot_20121122_1.JPG
NAMA           : MUSTOFA
EMAIL           : MUSTOFA09108@GMAIL.COM


[1] Masifuk Zuhdi, islam dan keluarga berencana di indonesia, surabaya, Bina Ilmu, 1986, hml. 38-39
[2] Moeljanto, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Jakarta, Bina Aksara, 1985, hlm. 341-349
[3] Jawa Pos, Kamis 30 April 1987, hlm. III kolom 3-5
[4] Zuhdi, op, cit hlm 39
[5] Muhammad Syaltut, Al-Fatwa, Mesir, Darul Qalam, s.a, hlm. 289-292
[6] Al-Suyuti, Al-Jami’ al-Shaghir vol. II, Cairo, mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1954, hlm. 94.
[7] Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 172.